Paradigma baru sektor kehutanan memandang hutan sebagai sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi kepentingan dimana pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan hasil overlay antara Peta Kawasan Hutan di NTB dengan peta administratif diketahui bahwa terdapat 486 desa/kelurahan pada 88 kecamatan yang berbatasan dengan kawasan hutan. Jika disandingkan dengan hasil pengolahan terhadap Basis Data Terpadu pada desa-desa tersebut, diketahui terdapat 861.993 orang yang tergolong miskin dan rentan miskin (Desil 1 s/d Desil 4). Jumlah ini sekitar 16,58 % dari jumlah penduduk NTB. Artinya, setiap upaya pembangunan di sektor kehutanan yang kemudian melibatkan masyarakat di sekitar kawasan akan berpotensi menjadi salah satu cara yang efektif dalam mengurangi angka kemiskinan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini sedang mencanangkan Program 1000 Desa Bambu, sebuah gerakan dengan bersama menggunakan bambu sebagai pengganti kayu. Dimana manfaatnya akan terasa bagi masyarakat maupun lingkungan. Program 1000 Desa Bambu bertujuan untuk memperkenalkan bambu sebagai bahan baku industri yang ramah lingkungan kepada masyarakat. Konsep Desa Bambu adalah setiap Desa menanam sedikitnya 70.000 bibit bambu atau setara dengan 2.000 Hektar (35 rumpun/ha). Asumsinya adalah setiap tahunnya tiap rumpun akan menghasikan 6 pokok/th setelah 10 tahun (36 btg/rumpun) atau 10 pokok/th setelah tahun 15 (56 btg/rumpun).
Menurut Pak Sarwono Kusuma Atmaja pada kegiatan FGD Program 1000 Desa Bambu di Manggala Wana Bakti pada tanggal 28 Maret 2017 “Indonesia didukung oleh 60 jenis bambu yang komersial, jadi sangat memungkinkan untuk melaksanakan pengembangan Desa Bambu.”
Sebagai bagian dari upaya pengembangan bambu lestari di NTB, telah dilaksanakan Workshop Inisiasi Pengembangan dan Pengelolaan HHBK Bambu Lestari. Kegiatan dilaksanakan di Hotel Santika pada tanggal 16 Agustus 2017 dengan dihadiri oleh perwakilan dari 12 Desa yang menjadi lokus pengembangan HHBK oleh WWF Nusa Tenggara. Workshop diikuti oleh perwakilan dari Bappeda NTB, Bappeda Kabupaten Lombok Utara, Bappeda Lombok Tengah, Bappeda Lombok Timur, beberapa NGO, Dinas LHK NTB, pelaku usaha dengan narasumber dari Yayasan Bambu Lestari, WWF dan Dinas LHK NTB. Selain itu, hadir juga coordinator project ITTO yang sedang fokus dalam pengembangan bambu. Kegiatan Workshop Inisiasi Pengembangan Bambu Lestari ini terselenggara atas kerjasama WWF Nusa Tenggara dengan Dinas LHK Provinsi NTB.
Dalam pembukaan Workshop, Kepala Dinas LHK NTB, Ir. Madani Mukarom, M. Si, menyampaikan bahwa dibutuhkan pengembangan dan inovasi intensif untuk memastikan masyarakat dan pemerintah memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Beliau menegaskan bahwa pemerintah akan terlibat aktif dalam setiap pengembangan HHBK termasuk Bambu. Workshop ini diharapkan bisa memberikan informasi yang utuh kepada peserta sehingga kemudian tergugah untuk mengembangkan bambu. “Kita punya potensi untuk menjadikan bambu sebagai salah satu komoditas unggulan”, ungkapnya. “Pengembangannya akan bermanfaat dari aspek ekologi dan ekonomi”, lanjutnya. Bergabungnya sektor LH dan Kehutanan menjadi salah satu faktor yang menempatkan pengelolaan Bambu menjadi strategis dimana pengelolaannya mengutamakan prinsip konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Dinas LHK akan mengambil peran sebagai regulator dan atau inisiator yang membagi peran para pihak yang memungkinkan untuk dilibatkan. Selain itu, Dinas LHK akan tetap mendorong agar HHBK termasuk Bambu tetap menjadi prioritas dalam pembangunan sektor kehutanan di NTB.
Mr. Arif Rabik sebagai perwakilan dari Yayasan Bambu Lestari yang hadir bersama dengan Ibu Desi Ekawati, S. Hut. M.Sc, dari ITTO Bambu Project mengapresiasi dukungan dari Dinas LHK NTB. Dalam paparannya beliau berdua menjelaskan bahwa bambu adalah komoditas yang berpotensi ekonomi namun tidak mengurangi fungsi konservasinya. “NTB sangat berpotensi menjadi salah satu lokus Pengelolaan Hutan Bambu Lestari yaitu model pengembangan bambu dengan berbasis masyarakat dalam mendukung industri bambu di Indonesia”, ungkapnya. “Model seperti inilah yang ingin dibangun oleh Yayasan Bambu Lestari bersama dengan masyarakat”, lanjut beliau.
Menurutnya, NTB akan mudah mencapai kemajuan yang pesat dalam pengembangan bambu karena berbagai unsur pendukung sudah tersedia misalnya legalitas kawasan, adanya akses ke kawasan hutan negara dan hutan milik, sudah memiliki budaya bambu yang aktif termasuk kearifan lokalnya. Yang dibutuhkan adalah langkah pasti dan terencana untuk membangunnya. “Kami berencana mendorong pembangunan 75 Desa Bambu di NTB”, ungkap Mr. Arif yang diamini oleh Ibu Desi. Peluang pasar untuk menerima komoditas bambu sangat terbuka, salah satunya adalah PT. Indo Bambu Lestari di Bali. Namun beliau menegaskan bahwa bamboo yang dikirim adalah bambu setengah jadi “Kami siap menerima kiriman Bambu pada Bulan Juli 2018 dengan mengikuti tahapan yang dipersyaratkan”, tegasnya.
Hasil hutan bukan kayu (HHBK), salah satunya termasuk tanaman bambu, merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. Secara ekonomis HHBK memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun memiliki nilai ekonomi tinggi namun pengembangan usaha dan pemanfaatan HHBK selama ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Hal ini berdasarkan penjelasan dari Firman selaku Kasubag Program Dinas LHK NTB.
Menurut Firman harus ada kebijakan yang berorientasi pada pengembangan komoditas. Hal itu yang menjadi salah satu faktor yang mendorong Dinas LHK mengusulkan review Indikator Kinerja Utama dalam RPJMD Provinsi NTB Tahun 2013-2018 pada Program Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan yaitu dari semula peningkatan produksi menjadi pengembangan komoditas. “Pengembangan komoditas akan memperluas cakupan peran Dinas LHK NTB dalam pengembangan HHBK sekaligus mengakomodir pengembangan jenis-jenis HHBK yang baru oleh KPH”, jelasnya. Dinas LHK mendukung scale-up program tersebut dengan berbasis pada KPH. “Kami akan mendorong agar komoditas Bambu menjadi salah satu HHBK Unggulan di tingkat provinsi, dan pengembangannya termasuk pembangunan Desa Bambu Lestari di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa sebagai sasaran dalam Renstra periode berikutnya”, tegasnya.
Ada peluang bagi masyarakat baik perorangan atau per kelompok termasuk bagi KSU untuk memperoleh bantuan sarpras pengolahan HHBK dari pemerintah melalui skema Hibah atau Bantuan bagi masyarakat, namun yang mesti diingat adalah pengajuan Hibah atau bantuan tersebut diajukan pada tahun sebelumnya, misalnya pengajuan pada Tahun 2017 diajukan untuk memperoleh hibah pada Tahun 2018. Selain itu, penerima bantuan harus jelas by name by address dengan sasaran utama pad masyarakat miskin sekitar kawasan hutan. Sarpras yang diajukan adalah sarpras yang bersifat inovatif, misalnya mesin belah bambu, Genset dan atau sarpras bengkelnya. Dalam pertemuan tersebut, Firman juga meminta agar pihak perusahaan yang akan menjalin kerjasama dengan masyarakat tidak hanya menunggu di hilir tetapi turut terlibat di hulu nya sehingga ada margin nilai tambah yang terdistribusi untuk masyarakat.
Kegiatan Workshop kemudian ditutup dengan adanya kesepakatan dari beberapa desa yang ada di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur untuk bersama-sama melakukan pengembangan desa melalui pengelolaan bambu yang lestari. (firman)