Pemerintah NTB dan tim Kanoppi project yang terdiri dari CIFOR dan WWF bersama dengan Dinas LHK dan tim Akademisi dari Prodi Kehutanan Universitas Mataram membuat Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) terkait dengan Pengelolaan Hutan di Provinsi NTB. Penyusunan perda ini dilakukan dengan pendekatan spasial melalui ekoregion. Dimana, setiap ekoregion memiliki permasalahan, karakteristik ekosistem dan keanekaragaman kunci yang berbeda-beda. Terdapat 7 tematik ekoregion bagi pembangunan hutan yang ditetapkan oleh nasional, salah satunya wilayah Bali Nusra. Pada wilayah Bali Nusra, aspek yang perlu diperhatikan untuk pembangunan hutan yaitu peningkatan tutupan lahan, perlindungan hutan konservasi, pengembangan ekowisata dan lain sebagainya.
Latar belakang disusunnya Perda Pengelolaan Hutan NTB ini antara lain, masih rendahnya kapasitas kelembagaan (Regulasi, Pendanaan dan sumberdaya manusia) dalam mendukung operasionalisasi pengelolaan hutan di tingkat tapak, tingginya laju deforestasi, degradasi dan tingkat kerawanan hutan di NTB, belum adanya instrumen teknis terkait koordinasi dan implementasi pengelolaan sumberdaya hutan antara kabupaten dan provinsi pasca penerapan UU 23 Tahun 2014, belum optimalnya kegiatan rehabilitasi, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dalam mempertahankan kelestarian dan kesejahteraan masyarakat dan belum optimalnya instrumen terkait dengan mekanisme untuk menjamin keberlanjutan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan sehingga orientasi pemberdayaan masih bersifat administratif belum mengarah ke pemberdayaan yang substantif.
Terdapat beberapa landasan yang digunakan dalam penyusunan Perda ini yaitu landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Secara filosofis, hutan wajib dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemanfaatan tersebut harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan tetap memperhatikan asas penyelenggaraan dan pengelolaan hutan sehingga hutan dapat dipertahankan dan dimanfaatkan secara berkesinambungan dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.
Secara sosiologis, berdasarkan data statistik NTB tahun 2016, menunjukkan bahwa jumlah penduduk NTB mencapai 5.198.806 jiwa dengan luas wilayah sebesar 2.015.315. hal tersebut tentunya memberikan implikasi yang cukup serius bagi stabilitas pengelolaan sumberdaya hutan di NTB, termasuk meningkatnya okupasi kawasan hutan untuk sumber penghidupan masyarakat. Disisi lain, hasil analisa WWF program nusa tenggara di tahun 2014 menunjukan bahwa tingkat kebutuhan air di pulau lombok mencapai 3,63 M M3 sementara ketersediaan air hanya sebesar 3,04 M M3 (terjadi defisit air 0.59 M M3) hal tersebut diperparah dengan Luas lahan kritis di DAS NTB yang sudah cukup tinggi, yaitu mencakup 71.59 % wilayah DAS di Pulau Lombok dan 70.09 % wilayah DAS Pulau Sumbawa. Secara umum mengenai beberapa persoalan dalam proses operasionalisasi Pengelolaan hutan di NTB, antara lain kelembagaan, pengelolaan, perlindungan hutan dan lahan, pemanfaatan dan penggunaan hutan, rehabilitasi dan pemberdayaan.
Secara yuridis, Undang-Undang tentang Kehutanan disusun untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Di dalam UU tentang Kehutanan ini mengatur mengenai cakupan pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan. Namun dalam implementasinya UU tentang Kehutanan di lapangan menemui banyak kendala dan kontroversi. Dalam UU tentang Kehutanan ini terdapat hambatan dan berbagai permasalahan hukum seiring dengan perkembangan dan dinamika dalam penyelenggaraan kehutanan. Pertama, UU tentang kehutanan ini tidak berdiri sendiri, dan kedua adanya Putusan Mahkamah Konstitusi sebanyak 4 (empat) kali pengujian UU Kehutanan. Konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah pasal yang dinyatakan batal dan tidak berlaku dan berimplikasi pada tidak adanya norma hukum untuk materi yang sebelumnya diatur dengan pasal-pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut.
Pentingnya penyusunan perda ini akan berpengaruh pada pembangunan kehutanan berkelanjutan untuk mencapai hutan yang lestari sehingga dapat diambil manfaat yang optimal. Manfaat yang dimaksudkan bahwa hutan harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga dalam pengelolaan hutan harus betul-betul sesuai dengan tujuannya untuk kemakmuran rakyat. Selain itu, dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan harus tetap dijaga kelestariannya, karena hutan bukan saja untuk kepentingan generasi yang yang sekarang, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang, sehingga kelestarian hutan harus tetap dijaga untuk kesinambungannya untuk dimanfaatkan pada generasi yang akan datang.