Kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) berdasarkan Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 jo Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), mulai direspon oleh berbagai pihak baik internasional, Nasional maupun di daerah. Termasuk Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT) bersama Dinas LHK NTB dalam program Kedaireka Kementerian Dikbud.
Acara konsultasi publik dan deseminasi tanggal 12 Desember 2023 ini bertujuan menyampaian informasi strategis terkait pelaksanaan Program Matching Fund dengan judul Inovasi pembangunan rendah emisi melalui sustainable manajement forest policy dan ekonomi hijau studi kasus Kawasan hutan Pendidikan Universitas Muhammadiyah mataram demikian dikatakan Dr. Nurjannah, SH., MH.
Konsultasi publik dan deseminasi ini merupakan tahap akhirnya ini difasilitasi oleh Dinas LHK NTB, dimana sebelumnya tekah dilakukan FGD sebanyak 5 kali yang difasilitasi oleh UMMAT dalam project ini.
Kepala Dinas LHK NTB Julmansyah, S. Hut., M.A.P menyatakan dalam sambutannya, transaksi karbon ini harus hati-hati, dimana daerah harus memiliki kedaulatan potensi karbon yang dihajatkan untuk kesejahteraan masyarakat lingkar hutan dan daerah. Seperti halnya dilevel nasional bahwa setiap pelaku usaha carbon harus terdaftar dalam SRN PPI (Sistem Registri Nasional) Kemen LHK. Dimana tidak boleh ada transaksi karbon dengan dunia internasional tanpa teregistrasi di SRN dan tanpa mendapat otorisasi oleh Kemen LHK, sesuai regulasi.
Demikian juga di daerah, Ujar Julmansyah. Sehingga policy brief yang disusun oleh Tim Kajian UMMAT ini harus bisa menyasar hal-hal yang dapat mengantisipasi terjadi pencurian potensi carbon daerah dengan berbagai modus dan modelnya.
Hal itu juga diakui oleh Dr. Nurjannah, SH., MH Ketua Tim dari UMMAT dalam paparan draft Policy Briefnya. Menurut Dr. Nurjannah transaksi karbon harus bisa mengakomodasi kepentingan Negara, Daerah dan Masyarakat secara equal dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Dr. Nurjannah kemudian menyampaikan perlunta merevisi Pergub NTB No. 54 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Daerah Perubahan Iklim.
Isu kedaulatan karbon daerah dan nasional menjadi hal yang muncul dalam konsultasi publik dan deseminasi ini. Mengingat Indonesia melalaui berbagai Conferensi of Parties atau COP yang merupakan konferensi tingkat tinggi perubahan iklim dan Paris Aggrement telah menetapkan National Determinant Contribution (NDC) dimana pemerintah Indonesia berkewajiban menurunkan tingkat emisi nasional dengan 31% jika dengan kekuatan sendiri dan 43% jika dengan bantuan internasional melalui pemerintah nasional.
Julmansyah mengatakan, pemprov NTB berkewajiban menurunkan efisi dari sektor FOLU (Forest and Other Land Used) atau sektor Kehutanan dan tata guna lahan di NTB sebesar 2,6 juta ton CO²e.
Untuk itu kata Kadis LHK yang masuk dalam 5 besar kadis berkinerja terbaik nasional ini, DLHK bersama parapihak misalnya Islamic Relief dan beberapa NGO sedang mendorong agar potensi penyerapan carbon (carbon secuestration) di areal Perhutanan Sosial (PS) di NTB teregistrasi di SRN PPI sehingga potensi carbon di areal PS ini bisa tervalidasi dan mendapatkan SPE GRK (sertifikat Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca) dari Menteri LHK. Maka SPE GRK ini yang dapat dioffsetkan dengan industri penghasil emisi.
Masa depan hutan NTB ini ada di arela Perhutanan sosial, ujar Jul. Keberadaan Hkm sepanjang green belt Rinjani itu potensial sebagai lokus perdagangan carbon.
Acara Konsultasi Publik dan Deseminasi Hasil Riset Dokumen Policy Brief Tata Laksana Ekonomi Karbon Daerah (Aspek Regulasi, Perencanaan, Evaluasi dan Implementasi) 2023 ini juga hadir berbagai narasumber diantaranya BPDLH (Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup) Kementerian Keuangan RI serta OJK. Selanjutnya materi policy brief ini akan menjadi muatan draft Perturan Gubernur NTB.